Ruteng | Unika Santu Paulus Ruteng-Rektor Universitas Katolik Indonesia (UNIKA) Santu Paulus Ruteng, Prof. Dr. Yohanes Servatius Lon, MA., dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Religi dan Budaya dalam sidang senat terbuka di Aula Asumta Keuskupan Ruteng, Sabtu, 27 November 2021.

Pada kesempatan itu, Prof. John, demikian panggilan Prof. Dr. Yohanes Servatius Lon, MA., menyampaikan orasi ilimiah berjudul “Perjumpaan Hukum Negara, Agama, dan Adat dalam Kasus Perkawinan di Manggarai”.

Mengawali orasi, Prof. John menyampaikan berbagai kisah dan pengalaman masa kecil, hingga realitas sosial yang cendrung mengabaikan dan menggeser kebudayaan lokal Manggarai.

Dia mengisahkan, ketika kuliah Master/S2 dalam bidang Applied Languistic, dirinya menyoroti kebijakan bahasa nasional yang berpotensi menjadi language genocide terhadap bahasa daerah di Indonesia.

Sebab, kata Prof. John, berbagai kebijakan nasional, regional dan bahkan mondial yang dapat menggerus dan meminggirkan kebudayaan lokal.

“Kita seharusnya sepakat bahwa budaya lokal dari komunitas kecil sekalipun, tidaklah boleh dipandang sebelah mata. Setiap usaha untuk menyingkirkannya tidak dibenarkan,” tegasnya.

Prof. John mengakui, bahwa buah dari realitas dan refleksi analitis adalah dasar berbagai hukum, pengetahuan, keyakinan dan filosofi yang ada di kehidupan kita harus diperjumpakan secara kritis, dialektis, dialogis sekaligus mutualis satu sama lain demi membangun kehidupan yang lebih baik.

“Tesis dasar inilah yang menjadi spirit pengembangan kajian akademis Prof. John (Red) selama berkarir sebagai dosen hingga meraih gelar Guru Besar. Secara khusus, Prof. John (Red) memberi perhatian pada tema perkawinan yang menjadi isu krusial dan problematis dalam perjumpaan antara hukum agama (Katolik), hukum adat (Manggarai) dan hukum negara (Indonesia),” ungkapnya. 

Lebih lanjut, alumnus Ottawa University ini menyatakan, bahwa menikah dan membentuk keluarga merupakan salah satu aktivitas manusia yang paling tua dan fundamental dalam sejarah kehidupan umat manusia.

“Setiap komunitas memiliki keunikan dalam memandang dan mengatur perkawinan sesuai dengan konteks sosial, historis dan hukum yang berlaku pada komunitas masing-masing,” terangnya.

“Perkawinan adalah tanda kedewasaan, dimana seseorang memasuki fase baru hidupnya. Perkawinan sangatlah penting untuk mempertahankan dan melanjutkan eksistensinya sebagai suatu masyarakat.” ujar Prof. John.

Secara khusus, Prof. John menjelaskan, bahwa masyarakat Manggarai memberi arti perkawinan dengan nilai filosofis, sosial dan religius yang tinggi.

“Melalui perkawinan sebuah wa’u/klan tidak akan punah (mempo). Perkawinan juga menjadi sarana untuk memperluas dan memperbesar keluarga. Makin besar suatu keluarga, makin berhasil keluarga tersebut. Olehnya faktor kelahiran anak menjadi krusial dalam sebuah perkawinan. Bahkan, jika suatu perkawinan tidak menghasilkan keturunan/anak, si suami diperkenankan untuk mengambil wanita lain sebagai isteri yang kedua atau ketiga, “ jelasnya.

Leave a Comment